Cerpen | Meredakan Hujan dengan Celana Dalam
CERPEN
Meredakan Hujan dengan Celana Dalam
Dakwah sedang diadakan, hujan deras mengguyur kampung kami. Sejumlah pemuda mondar-mandir di halaman
meunasah dalam keadaan gelisah, tak akan ada yang percaya bahwa malam itu hujan
membadai atap-atap podium yang sudah disiapkan.
Abdurrahman adalah seorang pemuda yang percaya dengan segala tradisi di kampung kami, prinsip hidupnya sebagai pribumi tak pernah lekang sampai sekarang, dengan segenap kemampuannya ia meminta pada Tuhan agar hujan segera reda.
Dengan sikapnya yang sederhana ia pun
bertanya pada saya, “Dani apa sudah ada yang berhajat, melepaskan celana dalam ke atas atap
meunasah?”
“Ohya, aku lupa,
seharusnya tadi sore yang berhajatan sudah melakukannya,”
“Waduh, waduh,
waduh,” tegasnya seraya menepuk pundak.
“Tenang, Abdur, sebentar lagi saya akan suruh orang melakukannya,” sambil berjalan berkeliling melihat
celana dalam di jemuran, saya melihat ke langit semakin gelap. Biasanya, di
sandaran sumur ada saja celana dalam milik pemuda yang dijemur sampai seminggu
lamanya, namun sore itu, tak ada satu pun celana dalam di dinding sumur.
Sudah menjadi
tradisi di kampung kami, kalau berhajatan meredakan hujan pada malam dakwah,
ritualnya adalah dengan cara melemparkan celana dalam di atas menara surau.
Kalau celana
dalam sudah diletakkan serupa sasajen, mungkin malaikat Mikail seperti takut
menurunkan hujan di sekitar kampung. Sebab sudah pasti hujan tak akan turun.
Menurut salah seorang petua adat kampung, desa kami berbeda dengan kampung lainnya. Selain tanahnya ditakuti laknat serta penduduknya penuh takzim terhadap rahmat.
Tak jarang,
setiap kali diadakan dakwah di kampung kami, hujan akan turun mengguyur dan
tergenang.
Menurut Ibu,
dahulu kala pernah hidup seorang Tgk bernama Jakawi. Kalau musim hujan tak
kunjung reda, maka kaum ibu-ibu di kampung kami akan menggelar hajatan di
makamnya, yaitu dengan cara berkenduri, sembari meminta pada Tuhan agar matahari bersinar terang.
Paling tidak, untuk bisa menjemur fatarana yang sudah diperas.
Malam itu, tak seorang pun teringat pada hajatan celana dalam, sehingga hujan turun deras mengguyur, acara dakwah diteruskan sampai dengan selesai
Pendengar khidmat, dalam
suasana dingin yang entah.[]
Penulis : Afridany ramli