Bahagia dengan Sepiring Mie Aceh di Simpang Keumangan
![]() |
Rais sedang makan Mie Aceh Sp. Keumangan |
Tadi siang, saya bersama keluarga menghabiskan akhir pekan bersama. Setidaknya, saya berniat untuk menutup akhir Tahun, seperti yang dilakukan oleh orang-orang kaya di negeri ini.
Sebagai seorang pria yang dikenal miskin di kampung, saya dengan sepeda motor butut milik pribadi, berjalan berkeliling seputaran kota Beureunuen.
Setiba di kota Beureunuen, saya dan anak-anak masuk di sebuah toko monja dan membeli beberapa potong pakaian untuk anak-anak. Dengan harga yang lumayan murah.
Setelah itu, kami berangkat pulang ke rumah Ibu. Tidak jauh dari kota Beureunuen dengan menempuh jarak sekitar tiga kilometer, maka akan sampai di rumah Ibu. Ibu saya sudah renta, rambutnya sudah beruban, bahkan marahnya sudah menjadi nasehat, saya menganggap setiap perkataannya adalah suara Tuhan.
Rumah Ibu terletak di sebuah kampung yang dikenal dengan latar sejarah basis Camp Mako Cinta para pemberontak.
Namun, sebelum tiba di rumah Ibu, saya singgah sebentar di Simpang Keumangan. Sudah lama saya tidak mangkal di Simpang Keumangan.
Dulu, warkop milik Wak Ni itu dikenal sebagai tempat mangkal para pasukan tak bertulang, salah satunya adalah saya. Setidaknya, saya sudah tidak asing lagi dengan penjual Mie Aceh di Simpang Keumangan, dengan citarasa yang mantap.
![]() |
Hanum sedang makan Mie Arang Sp. Keumangan |
Selagi tiba pesanan, saya melihat betapa bahagianya anak-anak saya menyantap Mie Aceh di meja hidangan.
Bahkan saya pun mengabadikan foto mereka ini yang sedang menikmati masakan sebagai tanda bukti bahwa mereka selama ini tidak pernah makan makanan selezat ini.
Ketika sedang asik menyantap mie, mata saya mendelik ke depan. Saya kenal, dia adalah teman saya waktu kecil, teman itu sedang duduk di meja depan, ia melakukan hal yang sama. Ia juga sedang menikmati mie.
Setelah itu saya mendekatinya dan berjabat tangan. Ia adalah teman sebantal tidur sewaktu di pesantren, dan sekarang sudah bertugas di Kepolisian, lalu kami pun saling bersalaman.
Bertemu teman lama, pasti akan berbicara masa lalu. Kami bertukar nomor telepon, dan ia sempat menanyakan nama saya, "kamu ini macama mana sih, kita sudah kayak adik abang, nama saya tidak tahu lagi, saya tampar kamu nanti," kata saya. Ia lantas tertawa. Kemudian segenap ingatannya menarik undur kembali tentang kenangan kami berdua.
Di mana-mana, saya punya banyak teman. Bersama teman, saya tidak akan pernah memakai etika dan perasaan, meski ia lebih tua dari saya.
Kalau pun saya dikatakan tidak beradab, berarti selamanya ia tidak akan pernah bisa menjadi sahabat saya. Karena saya bukanlah tipe orang pilihan, seperti mereka yang hidup di bawah para panji bersurban merah.
Sebelum pamit pulang dari Mie Simpang Keumangan dan berangkat ke rumah Ibu, saya sempat terbayang sepenggal kenangan di warung itu. Kami pernah membeli mimpi di sana.[]
0 Response to "Bahagia dengan Sepiring Mie Aceh di Simpang Keumangan"
Posting Komentar